Judul : Percikan
Kembang Api Ramadan
Bulan ramadan adalah
bulan yang penuh berkah, bagi
seluruh umat islam di Dunia. Pastilah disambut dengan
antusias yang hangat oleh pemeluk Islam. Tak
terpungkiri, umat
non Islam pun menyambut datangnya bulan suci
ini dengan senang hati. Corak warna-warni dalam menyambut bulan yang penuh
berkah,
sangatlah beragam. Mulai
dari menyalakan kembang api, tadarusan serta memenuhi
mushola dan masjid untuk memburu pahala yang di lipat gandakan.
Begitupun dua
bersaudara ini, yang sangat antusias menyambut bulan ramadan dengan menyalakan
kembang api di depan rumah, tak perlu menggunakan petasan dengan kapasitas ledakan
yang besar karena
berbahaya. Inilah tradisi khas yang selalu mereka lakukan untuk menyambut Bulan Ramadan.
Hal
itu masih sangat lumrah untuk Farhan yang masih berumur lima tahun, karena dunianya masih dalam dunia parmainan.
“ Kak Asih, Bulan Ramadan
itu seru ya kak, bisa main kembang api, banyak makanan dan kampung jadi ramai juga hehehe. “
celetuk Farhan, adik Asih satu-satunya.
“ Hehehe, iya dik.
Kakak senang sakali bisa menyambut Bulan Ramadan, apalagi bisa main kembang api
seperti ini. Kan yang jualan kembang api jarang kalau bukan waktu puasa sama lebaran. “
sesal Asih, karena Asih dan adiknya hanya bisa bermain kembang api satu tahun
sekali saja.
“Oh ya kak, memangnya
Bulan Ramadan itu istimewa ya kak? Kemarin Farhan lihat kok sampek ada yang nangis-nangis
di Masjid. Farhan tanya pak Ustad katanya orang itu lagi menunggu Ramadan. “ Tanya Farhan
polos. Ia
yang masih berumur 5 tahun,
masih belum begitu Faham
tentang Bulan Ramadan. Yang dia tau hanya
serba-serbi kebahagiaan di Bulan Ramadan. Seperti
yang Farhan lakukan dengan kakaknya, Asih.
“ Adik kakak memang
pintar, udah tanya tentang sesuatu yang sedang buming, hehehe. Gini, kakak
jelaskan ya dik. Ini sekedar kasih tau ke kamu
saja, kalau adik udah sekolah pasti akan dijelaskan lagi sama Bu Guru. Kenapa Bulan Ramadan kok selalu di
tunggu umat Islam
di Dunia?
Karena Bulan Ramadan itu bulan yang penuh berkah dik, pahala di lipat gandakan,
puasanya juga sebagai obat dan
ada yang di namakan malam lailatul qodr atau malam
yang lebih baik daripada 1000 bulan. “ Sambil membelai lembut rambut adiknya
yang kribo
dengan penuh
kasih sayang. Asih menjelaskan dengan detail, hati-hati dan sabar menjawab
pertanyaan Farhan yang mulai banyak tanya. Karena itulah anak
kecil, keingintahuannya
sangat tinggi.
“ Wah, malam lebih baik
dari 1000 bulan kak? “ Tanya Farhan lagi kepada kakaknya dengan melongo, karena terkejut mendengar penjelasan
kakaknya
tentang malam yang lebih baik dari 1000 bulan tadi.
“ Hahahahahaha, iya dik
bisa di bilang juga malam yang mulia juga. “ Tawa Asih menggelegar melihat
tingkah Farhan yang melongo mendengar penjelasannya.
Mendengar penjelasan
singkat dari kakaknya lagi, Farhan semakin dibuat melongo karena dia belum faham
dan mengerti tentang apa yang dijelaskan kakaknya. Yang Farhan tahu hanya kebahagian
di Bulan Ramadan yang di rasakannya.
*Bagian
II ( Fitri Andriana ) *
Hari
ini merupakan puasa pertama bagi Farhan. Meski usianya masih terlalu dini, tapi
tak sedikit pun
Ia mengeluh. Karena Ia
teringat akan janji kakaknya, yang akan membelikan baju baru, jika puasanya
bisa satu bulan penuh.
“
Kak! Lagi ngapain? “ tanya Farhan pada kakaknya yang sedang asik dengan
penanya. Meski usia Asih masih remaja,
tapi beberapa novelnya sudah terpajang di toko-toko buku ternama.
Ayah
asih mengajarkan menulis sejak ia berumur delapan tahun. Dari menulislah ia
membiayai semua kebutuhan Farhan. Tepat satu tahun yang lalu, kecelakaan
merenggut nyawa orang tua Asih dan Farhan. Kejadian itu membuat Asih menyendiri
hampir tiga bulan lamanya,
‘ Kak! Biarkan ayah dan bunda tenang, kata Pak ustad Ayah udah di surga sama
bunda. ‘ Kata Farhan itu yang membuat Asih bangkit lagi. Memang benar adanya,
bukan umur yang menentukan kedewasaan seseorang. Tapi seberapa banyak Ia
mencoba untuk menyelesaikan masalah
yang ada. Asih bangkit kembali memandang adiknya
yang masih membutuhkannya di dunia ini.
Kini Ia bahkan sudah mahir memasak, mencuci, membersihkan rumah dan
mempersiapkan semua kebutuhan adiknya.
Berbanding terbalik dengan remaja saat ini, yang lebih mahir menggeser jarinya
diatas gadget.
“
lagi menulis sayang, sini kakak ajari menulis.” Jawab Asih lembut.
“
Apa menulis itu perlu kak? “
“ Sangat perlu dek.”
“
Untuk apa kak? “ tanya Farhan penasaran.
“
Sini dik, duduk disamping kakak! “pintanya. Asih menghentikan penanya, beralih
membelai rambut kribo adiknya.
“
Dek, kamu suka membacakan? “ tanya Asih pada adiknya. Farhan menjawab dengan
mengangguk dan menatap kakaknya.
“
Yang adik baca tulisankan? “ Lanjut Asih.
Belum selesai Asih menyelesaikan katanya, Farhan
langsung berteriak menyahutnya,
“
Farhan tau kak! kita menulis agar tulisan kita dibaca orangkan?” jawabnya
girang.
“
Iya, adikku sayang, kribo udah waktunya belajar nulis nih! Dah pandai. “ Ia
menghela nafas sejenak,
“
selain itu dek, kalau
kita pergi ke Surga
nanti, masih ada buku kita disini. Lihat ini!” Asih menunjukan satu buku karya
Ayahnya.
“
Meski ayah sudah ke Surga,
tapi bukunya tetap ada disinikan? Dibaca banyak
orang. Ayah menjual buku ini, dan uangnya bisa buat
Farhan sekolah sampai sekarang.“ Asih menyubit pipi Farhan yang kayak bakpau
itu. Dengan wajah polosnya, Farhan melanjutkan pertanyaannya,
“
Kak! surga itu dimana? Aku ingin kesana, pengen ketemu ayah sama bunda, pengen
minta bubur kacang ijo buatan bunda dan pengen minta cium ayah juga. Dulukan
Farhan takut dicium ayah karena berengos tebalnya. “ Asih hanya terdiam, Ia
bingung mau menjawab apa, karena Ia
sendiri tak tau dimana itu. Pertanyaan itu, mengingatkan kecelakaan yang
merenggut nyawa kedua orang tuanya Semua
karena Asih, andaikan waktu itu Asih gak minta dibeliin sepatu baru, mungkin
kecelakaan itu tidak akan terjadi. Batin Asih.
“
Iya dek, nanti buka tak belikan bubur kacang ijo Mang Maman. Kan gak jauh beda
sama buatan bunda. “
“
Farhan mintanya buatan bunda kak!” Farhan menarik manja baju kakaknya.
“
Jauh ya kak? naik ojek bisa gak kak? atau harus naik pesawat? “ Asih merunduk,
memandang wajah adiknya. Air matanya sudah terasa terbendung tidak! Aku gak boleh nangis.
“
Nanti kalau celengan Farhan penuh, kita beli pesawat ya kak! buat ke surga,
buat jemput ayah sama bunda.” Asih tak mampu menahan air matanya, Ia menarik
tubuh adiknya dan memeluknya.
Waktu terus berlalu, Hari
Raya Idul Fitri kurang seminggu lagi tetapi ia tak kunjung mempunyai uang untuk
membelikan baju Farhan. Royalty dari pihak penerbit karya-karya Asih tak
kunjung diberikan, hanya ada sisa uang bulan lalu yang cuma cukup untuk membeli
kebutuhan sehari-hari. Sejak ditinggal wafat orang tuanya, Asih harus mencari
penghasilan sendiri guna mencukupi kebutuhan hidup dia dan adik kesayangannya.
Sebenarnya Asih ingin mencari pekerjaan di luar Kota, tetapi ia tak tega meninggalkan
adiknya sendirian di rumah. Karena itu,
agar
bisa menghasilkan uang dan
tetap bisa merawat Farhan ia menekuni hobinya, yaitu menulis. Tiap hari Ia berada diatas meja
sambil menggoreskan tinta diatas kertas-kertas lusuh yang masih tersisa milik
ayahnya.
“Kak,
apa kakak tidak capek? Istirahat dulu kak, nanti lagi menulisnya, Farhan
kepingin main sama kakak.” ucap Farhan suatu sore ketika Kakaknya menulis di meja
teras depan rumah.
“Iya
deh kakak istirahat dulu, Farhan mau main apa?” jawab Asih dengan merasa
bersalah karena tidak memperhatikan adiknya.
“Aku
mau ingin pergi ke masjid, mendengar
ceramah Pak Ustadz. Setelah itu, buka bersama
teman-teman Farhan dan kakak. Ayo, Kak!” Farhan, dengan sifat gemasnya dapat merayu
kakaknya untuk berangkat ke masjid bersama.
Senja
telah akan berpulang kepada malam.
Ketika itu pula, warga sekitar rumah Asih berbuka bersama di Masjid yang tak jauh dari tempat
Asih dan Adiknya
tinggal. Suasana inilah yang
tak akan dirasakan selain pada Bulan Ramadan, suasana yang penuh dengan rasa
kebahagian. Buka bersama dilakukan warga sekitar setiap hari, pada Bulan
Ramadhan. Tetapi terkadang Asih tidak
ikut berbuka puasa bersama di Masjid, lantaran ia masih
betah menggoreskan pena kesayangannya. Sehingga ketika Asih tak ikut ke masjid,
Farhan berangkat bersama teman-temannya. Kali ini Farhan mampu membujuk
kakaknya berbuka puasa bersama di Masjid.
Tumben Asih mau. Mereka makan disana dengan lahap, walaupun hanyalah makanan
sederhana.
“Gimana
kak, enak buka puasa disini kan?” Asih hanya tersenyum.
“Dik,
ayo cepat habiskan makanannya, habis itu kita sholat berjamaah” ucap Asih
dengan sifat lembutnya.
“Iya,
Kak”
Mereka langsung melanjutkannya dengan Sholat Tarawih
berjamaah di Masjid tersebut. Setelah sholat, Asih
mencari adiknya di halaman masjid, kok tidak ada. Asih telah mencarinya
ke dalam masjid tetapi Ia belum juga
menemukan adiknya. Akhirnya ia bertanya dimana Farhan
kepada salah seorang teman Farhan. Ternyata Farhan di pematang sawah bersama
orang-orang untuk melihat kembang api yang akan dinyalakan oleh warga.
Menyalakan kembang api sebagai rasa ungkapan bahagia warga terhadap Bulan
Ramadhan dan itu mereka lakukan setiap sebelum atau setelah berbuka puasa.
“Eh.. kakak cari dari tadi, ternyata kamu disini.”
“Hehehe...
iya kak maaf tadi tidak minta izin dulu. Eh.. habis ini kembang apinya
dinyalain, Kakak
disini temani aku lihat kembang api ya!” Rayu Farhan kepada Asih yang ingin
segera pulang untuk meneruskan tulisannya di rumah.
“Iya deh kakak temani” dengan
agak terpaksa Asih menemani Farhan menyaksikan indahnya kembang api. Gelap malam dengan hiasan kembang api, menjadi
tontonan yang diminati warga sekitar, karena setiap perciknya menyebar
kesenangan tersendiri bagi mereka.
Hampir
15 menit menyaksikan indahnya nyala kembang api,
mereka
pulang. Di perjalanan memasuki
gang terakhir rumahnya, tiba-tiba Farhan menarik tangan kakaknya
“Kak
itu ada pamflet dari Desa,
kita lihat dulu yuk!”
mereka menuju tempat dimana pamflet itu ditempel, terlihat beberapa orang juga
ada disana. Pamflet itu berisi tentang pengumuman pesta kembang api yang akan
diadakan di Lapangan
desa pada waktu malam takbiran.
“Kak,
nanti kita lihat pesta kembang apinya
ya!” Sahut Farhan yang memang sangat suka melihat
nyala kembang api.
“Iya, nanti kita lihat
sama-sama”
“Yesss! Ayo sekarang kita
pulang”
Mereka kemudian melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba
Farhan mengatakan sesuatu kepada kakaknya,
“Kak,
nanti waktu malam takbiran Ibu dan Ayah kita jemput ya! untuk menyaksikan
pesta kembang api bersama kita, biar
tambah rame. Ya kak, ya!” Asih kembali terdiam,
tak bisa berkata apa-apa. Ia
teringat semuanya. Asih masih tak terima dengan apa yang terjadi waktu itu.
*Bagian
IV ( Irma
Nur Fitriana ) *
Hari
yang membuat Asih teringat kejadian waktu itu pun enyah pergi begitu saja. Berganti
dengan hari di mana Asih berencana akan membayar zakat di masjid. Saat akan berangkat
menuju Masjid, Asih berpamitan
terlebih dahulu kepada Farhan yang sedang bermain di teras Rumah.
“Farhan,
kakak mau pergi ke masjid dulu ya” ujar Asih
“Kakak
memang mau ngapain pergi ke masjid?” tanya
Farhan.
“Kakak mau membayar zakat
dek” jawab Asih singkat. Dengan
rasa penasaran, Farhan mulai kembali menghujam Kakaknya dengan berbagai
pertanyaan masalah zakat. Ia menjelaskan dengan hati-hati, karena bukan hal
mudah untuk menjelaskan masalah demikian kepada anak yang masih berumur lima
tahun.
“ Rosulullah SAW mewajibkan berzakat, sebagai
pencucian dari tindakan yang sia-sia, ucapan kotor, serta untuk membantu memberi
kaum miskin. Kan masih banyak saudara Farhan diluar sana yang kurang beruntung
daripada Farhan. Yang masih harus memunguti sampah, tinggal di Gubuk reyot dan
masih banyak lainnya sayang.” Jelas Asih.
“Apa orang dewasa saja
kak yang harus membayar zakat?” Farhan kembali bertanya
“Tidak dek, semua wajib. Bahkan bayi yang baru lahir waktu takbir
pun harus berzakat. Yang penting tidak melebihi jam Sholat Ied ”
“kalau begitu, apa aku boleh ikut kak?” pinta
Farhan
“ee..ee..ee..
gimana ya? Lama lo dek, antrianya panjang. Mau to menunggu?” jawab Asih
“Tidak apa-apa kak, Farhan mau kok menunggu”
ujar Farhan
“oke
kalau begitu, kamu tunggu di sini dulu ya, kakak ambil zakatnya dulu di dapur”
Asih
menuju dapur belakang untuk mengambil beras yang akan di gunakan untuk
berzakat. Setelah siap semuanya,
Asih bergegas menemui Farhan, Ia membuka kantong kresek
tersebut, dan mengambil beras secukupnya dengan ke-dua tangan dan berniat
“Nawaitu
an ukhriza
Zakatal fitri
ngannafsi Fardhi syahri Romadhona Hadihisanati Fardhollillahhi ta’ala. “ Tak lupa Ia juga membimbing adiknya, kata perkata
diejakkan agar Farhan mudah mengikutinya.
“ Bayarnya harus pakek beras ya kak?”
tanya Farhan penasaran.
“ Tidak dek, dengan uangpun juga bisa. Ayo berangkat!”
Merekapun mulai bergegas menuju Masjid bersama.
Sesungguhnya
masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah menjadi perbincangan para ulama
salaf, bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Imam Abu Hanifah, Hasan
Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya,
mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. Ulama Hadits seperti Bukhari
ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi yang logis serta dapat
diterima.
“Menurut kami, membayar
zakat fitrah dengan uang itu boleh, bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama.
Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki para fakir
miskin jumlahnya berlebihan. Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang
lain. Dengan membayarkan menggunakan uang, mereka tidak perlu repot-repot
menjualnya kembali yang justru nilainya menjadi lebih rendah. Dan dengan uang
itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian untuk makanan, selebihnya
untuk pakaian dan keperluan lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab.“
“ Kak! Farhan sayang kakak.”
Dari kejauhan Farhan berlari, memeluk Asih dari
belakang.
“Ramadhan
itu, unik ya Kak.” Ucap Farhan di sela-sela perjalanan ngabuburit mereka.
Mencabut ilalang, memainkannya bersama angin.
“Unik
bagaimana sayang?”
“Ya
unik saja.”
Farhan hanya
melempar senyuman, dan melanjutkan katanya,
“ Orang-orang kaya pun juga ikut berpuasa, belum lagi Masjid mendadak
penuh, harus bayar zakat dan yang paling menyenangkan, ada pesta kembang apinya
kak.” antusiame Farhan membuat Anis terkekeh.
“Tradisi
juga banyak loh Dek.” Farhan menatap Asih bingung.
“Indonesia,
kaya dengan segala macam tradisi. Ada yang membuat makanan kemudian dimakan
bersama dijalan dan bahkan ada
yang membuat tumpeng gede banget ” Farhan
melongo, membuka mulutnya lebar-lebar,
“ Bagaimana makannya kak? “
“ Entahlah dek.” Jawab Asih singkat.
Di
tengah perjalanan, ketika matahari masih bergelayut di antara dedaunan, dalam
sepoi angin penyambut bulan suci, tiba-tiba ...
“KEBAKARAN!
TOLONG! KEBAKARAN!!” bunyi kentungan mengetuk semesta.
Cepat-cepat
Asih mendekati salah
seorang yang sedang berlari. Seketika perasaannya tak menentu, matanya berkunang-kunang.
Bersama ucapan istigfar, semuanya gelap.
“Allah
jahat, kenapa Allah mengambil rumah Farhan, mengambil ayah, bunda, kakek,
nenek?” Farhan
terus menangis dan menjerit tak karuan, Asih memeluknya erat-erat dan terus
beristigfar.
Pak
Rohman, selaku ketua kampung, mengarahkan para warga agar tetap siaga.
Mengambil air-air dengan melewati cadas-cadas pembatas. Sedangkan para pemuda, lebih
banyak dalam membersihkan puing-puing kebakaran.
Malam itu, tiba-tiba langit bergemuruh bak
diombang-ambing. Suara penyalahan, suara kebencian meluap ditengah Ramadan.
“ Dasar, kamu perampok! Sudah membakar rumah orang,
mencuri pula!”
“ Maaf pak, saya hanya ingin membelikan anak saya baju
baru. . .”
“ Halaah! Ayo kita bawa ke Kantor polisi!” teriak
salah Mang Maman, warga sekitar rumah Asih.
“ Tunggu pak!” para ibu-ibu menengahi.
“ Biarkan pak, saya tau mungkin Bapak ini lebih susah
dari pada saya. Ini bulan Ramadan pak, saya ikhlas. “ Asih membantu pencuri itu
berdiri.
“ Ramadan memang mampu membuat seseorang lebih baik.
Tapi tanpa benteng yang kuat, racun uang lebih mematikan dari sekedar racun
ular.” Ia menghela nafas sejenak dan melanjutkan katanya,
“ yakin pak! Pasti ada hikmah dibalik semuanya.”
Pencuri itu pun menangis dan meminta maaf pada Asih.
“Sabar, Dek!” meski dengan
mata sembab, Anis membelai kepala adiknya. Para ibu-ibu dengan sigap mendekati
mereka dan menawarkan tempat tinggal.
Inilah Indonesia, solidaritas masih tetap berlaku.
Tapi Asih menolaknya dan hanya meminta ijin untuk sementara tinggal di Kamar
tamu masjid.
Selama di Masjid, Asih diminta untuk membentu mengajar
anak-anak TPA sembari menunggu rumahnya selesai dibenahi warga.
“ Farhan, kamu masih marah sama Allah? “ tanya Asih
pada Farhan.
“ Ndak kak, kata Pak Ustad Farhan udah gede, harus
saling memaafkan. “ Asih tersenyum dan menatap adiknya.
Hingga malam takbir tiba, mereka masih tinggal di
Masjid. Secara berganti warga sekitar yang mengirimkan makanan untuk mereka.
Seperti biasanya, jika malam takbir tiba. Semua anak
berkumpul di Masjid, bertakbir bersama, menyalakan petasan, memainkan bedug dan
tak lupa keliling desa dengan membawa obor.
“Allaahu akbar.. Allaahu akbar..
Allaahu akbar.....Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu
akbar walillaahil - hamd. “
Gemuruh takbir menggema dibagai penjuru. Ramadan
kali ini, memang sungguh berat bagi Asih. Ramadan pertama tanpa ayah dan bunda
serta rumahnya harus dilalap habis si jago merah. Ramadhan
berakhir di tengah purnama, di tengah keberkahan, juga dengan segala godaan.
Sejuta keunikan meluas di berbagai penjuru, bagai sejuta kunang-kunang
berparade. Keberkahan
yang dilipat gandakan, tradisi, zakat, malam lailatul qadr, juga kehilangan,
Ramadhan menjadi saksinya. Rangkaian cerita mereka ukir diatas asa dan bahagia.
Berharap berjumpa mendapat maghfiroh dan inayahnya.
July'15
Tentang Penulis :
Ramadhan
Farid Akbar, lahir pada tanggal 31 Desember 1997 di Kota Reog. Dia biasa
dipanggil Rama. Dengan nama pena Panji Asmoro Bangun. Hobinya menulis dan
membaca, kiatnya untuk mengatakan ‘Eureka’ ‘aku berhasil’ terus digenggam
sebelum ajal menjemput. Dia menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa di UINSA
Surabaya dan juga pernah mendapat juara tiga, lomba artikel tingkat pelajar SMA
se-Ponorogo. Bisa dihubungi di Alamat e-mail, farid_akbar80@yahoo.com atau
facebook ramadahan farid akbar.
Fitri Andriana, Seorang pendatang baru di Dunia
pena. Ia adalah seorang Customer service di salah satu perusahaan travel di
Kediri. Ia juga seorang Mahasiswi jurusan Bahasa Inggris di UNISKA Kediri.
Goresan tintanya bias dicek di http://rangkaiankalam.blogspot.com/
Irma Nur Fitriana, lahir pada 18 1998 di
Madiun. Sekarang duduk di Kelas XII SMK NEGERI 1 GEGER. Tinggal di Deaa
Pagotan, Rt.04/Rw.02, Kec.Geger Kab. Madiu. Jika ingin menghubunginya bisa di
Facebook : Irma Nur Fitriana dan di nomor telepon 085790229113 bisa juga di
e-mail mimamodanger@yahoo.com
Zean Elhamas Baihaqy, lahir 26 Juni 1999 di
Jombang. Sekarang dia mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum
lebih tepatnya kelas X MAN TAMBAKBERAS JOMBANG. Tinggal di Kec. Kabuh, Kab.
Jombang. Akun Facebook: Zean Elhamas Baihaqy atau Email: Coenzean@outlook.com